A-SKP

Posted on by

SASARAN KESELAMATAN PASIEN (SKP).

 

 

Gambaran Umum.

Bab ini membahas Sasaran Keselamatan Pasien yang wajib diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh Pemerintah.

 

Maksud dan tujuan Sasaran Keselamatan Pasien adalah untuk mendorong rumah sakit agar melakukan perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran ini menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan rumah sakit dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus para ahli atas permasalahan ini. Sistem yang baik akan berdampak pada peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dan keselamatan pasien.

 

 

SASARAN, STANDAR, MAKSUD DAN TUJUAN, SERTA ELEMEN PENILAIAN.

 

 

SASARAN 1: MENGIDENTIFIKASI PASIEN DENGAN BENAR.

 

Standar SKP.1

Rumah sakit menetapkan regulasi untuk menjamin ketepatan (akurasi) identifikasi pasien.

 

Maksud dan Tujuan SKP 1.

Kesalahan identifikasi pasien dapat terjadi di semua aspek diagnosis dan tindakan. Keadaan yang dapat membuat identifikasi tidak benar adalah jika pasien dalam keadaan terbius, mengalami disorientasi, tidak sepenuhnya sadar, dalam keadaan koma, saat pasien berpindah tempat tidur, berpindah kamar tidur, berpindah lokasi di dalam lingkungan rumah sakit, terjadi disfungsi sensoris, lupa identitas diri, atau mengalami situasi lainnya.

 

Ada 2 (dua) maksud dan tujuan standar ini: pertama, memastikan ketepatan pasien yang akan menerima layanan atau tindakan dan kedua, untuk menyelaraskan layanan atau tindakan yang dibutuhkan oleh pasien.

 

Proses identifikasi yang digunakan di rumah sakit mengharuskan terdapat paling sedikit 2 (dua) dari 3 (tiga) bentuk identifikasi, yaitu nama pasien, tanggal lahir, nomor rekam medik, atau bentuk lainnya (misalnya, nomor induk kependudukan atau barcode). Nomor kamar pasien tidak dapat digunakan untuk identifikasi pasien.  Dua

(2) bentuk identifikasi ini digunakan di semua area layanan rumah sakit seperti di rawat jalan, rawat inap, unit darurat, kamar operasi, unit layanan diagnostik, dan lainnya.

 

Dua (2) bentuk identifikasi harus dilakukan dalam setiap keadaan terkait intervensi kepada pasien. Misalnya, identifikasi pasien dilakukan sebelum memberikan radioterapi, menerima cairan intravena, hemodialisis, pengambilan darah atau pengambilan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis, katerisasi jantung, prosedur radiologi diagnostik, dan identifikasi terhadap pasien koma.

 

Elemen Penilaian SKP 1.

  1. Ada regulasi yang mengatur pelaksanaan identifikasi pasien. (R)
  2. Identifikasi pasien dilakukan dengan menggunakan minimal 2 (dua) identitas dan tidak boleh menggunakan nomor kamar pasien atau lokasi pasien dirawat sesuai dengan regulasi rumah sakit. (D,O,W)
  3. Identifikasi pasien dilakukan sebelum dilakukan tindakan, prosedur diagnostik, dan terapeutik. (W,O,S)
  4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, produk darah, pengambilan spesimen, dan pemberian diet. (lihat juga PAP 4; AP 5.7) (W,O,S)
  5. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian radioterapi, menerima cairan intravena, hemodialisis, pengambilan darah atau pengambilan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis, katerisasi jantung, prosedur radiologi diagnostik, dan identifikasi terhadap pasien koma. (W,O,S)

 

 

SASARAN 2 : MENINGKATKAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF.

 

Standar SKP 2.

Rumah sakit menetapkan regulasi untuk melaksanakan proses meningkatkan efektivitas komunikasi verbal dan atau komunikasi melalui telpon antar-PPA.

 

Standar SKP 2-1

Rumah sakit menetapkan regulasi untuk proses pelaporan hasil pemeriksaaan diagnostik kritis.

 

Standar SKP 2-2

Rumah sakit menetapkan dan melakanakan proses komunikasi “Serah Terima” (hand over).

 

Maksud dan Tujuan SKP 2 sampai SKP 2-2

Komunikasi dianggap efektif bila tepat waktu, akurat, lengkap, tidak mendua (ambiguous), dan diterima oleh penerima informasi yang bertujuan mengurangi kesalahan-kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien.

 

Komunikasi dapat berbentuk verbal, elektronik, atau tertulis. Komunikasi yang jelek dapat membahayakan pasien. Komunikasi yang rentan terjadi kesalahan adalah saat perintah lisan atau perintah melalui telepon, komunikasi verbal, saat menyampaikan hasil pemeriksaan kritis yang harus disampaikan lewat telpon. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan aksen dan dialek. Pengucapan juga dapat menyulitkan penerima perintah untuk memahami perintah yang diberikan. Misalnya, nama-nama obat yang rupa dan ucapannya mirip (look alike, sound alike), seperti phenobarbital dan phentobarbital, serta lainnya.

 

Pelaporan hasil pemeriksaaan diagnostik kritis juga merupakan salah satu isu keselamatan pasien. Pemeriksaan diagnostik kritis termasuk, tetapi tidak terbatas pada

  1. pemeriksaaan laboratorium;
  2. pemeriksaan radiologi;
  3. pemeriksaan kedokteran nuklir;
  4. prosedur ultrasonografi;
  5. magnetic resonance imaging;
  6. diagnostik jantung;
  7. pemeriksaaan diagnostik yang dilakukan di tempat tidur pasien, seperti hasil tanda-tanda vital, portable radiographs, bedside ultrasound, atau transesophageal echocardiograms.

 

Hasil yang diperoleh dan berada di luar rentang angka normal secara mencolok akan menunjukkan keadaan yang berisiko tinggi atau mengancam jiwa. Sistem pelaporan formal yang dapat menunjukkan dengan jelas bagaimana nilai kritis hasil pemeriksaaan diagnostik dikomunikasikan kepada staf medis dan informasi tersebut terdokumentasi untuk mengurangi risiko bagi pasien. Tiap-tiap unit menetapkan nilai kritis hasil pemeriksaan diagnostiknya.

 

Untuk melakukan komunikasi secara verbal atau melalui telpon dengan aman dilakukan hal-hal sebagai berikut:

  • pemesanaan obat atau permintaan obat secara verbal sebaiknya dihindari;
  • dalam keadaan darurat karena komunikasi secara tertulis atau komunikasi elektronik tidak mungkin dilakukan maka harus ditetapkan panduannya meliputi permintaan pemeriksaan, penerimaan hasil pemeriksaaan dalam keadaan darurat, identifikasi dan penetapan nilai kritis, hasil pemeriksaaan diagnostik, serta kepada siapa dan oleh siapa hasil pemeriksaaan kritis dilaporkan;
  • prosedur menerima perintah lisan atau lewat telpon meliputi penulisan secara lengkap permintaan   atau   hasil   pemeriksaaan   oleh   penerima informasi,

 

penerima membaca kembali permintaan atau hasil pemeriksaaan, dan pengirim memberi konfirmasi atas apa yang telah ditulis secara akurat.

 

Penggunaan singkatan-singkatan yang tidak ditetapkan oleh rumah sakit sering kali menimbulkan kesalahan komunikasi dan dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, rumah sakit diminta memiliki daftar singkatan yang diperkenankan dan dilarang. (lihat juga MIRM12  EP 5)

Serah terima asuhan pasien (hand over) di dalam rumah sakit terjadi

  1. antar-PPA seperti antara staf medis dan staf medis, antara staf medis dan staf keperawatan atau dengan staf klinis lainnya, atau antara PPA dan PPA lainnya pada saat pertukaran shift;
  2. antarberbagai tingkat layanan di dalam rumah sakit yang sama seperti jika pasien dipindah dari unit intensif ke unit perawatan atau dari unit darurat ke kamar operasi; dan
  3. dari unit rawat inap ke unit layanan diagnostik atau unit tindakan seperti radiologi atau unit terapi

 

Gangguan komunikasi dapat terjadi saat dilakukan serah terima asuhan pasien yang dapat berakibatl kejadian yang tidak diharapkan (adverse event) atau kejadian sentinel. Komunikasi yang baik dan terstandar baik dengan pasien, keluarga pasien, dan pemberi layanan dapat memperbaiki secara signifikan proses asuhan pasien.

 

Elemen Penilaian SKP.2

  1. Ada regulasi tentang komunikasi efektif antarprofesional pemberi asuhan. (lihat juga TKRS 3.2). (R)
  2. Ada bukti pelatihan komunikasi efektif antarprofesional pemberi asuhan. (D,W)
  3. Pesan secara verbal atau verbal lewat telpon ditulis lengkap, dibaca ulang oleh penerima pesan, dan dikonfirmasi oleh pemberi pesan. (lihat juga AP 5.3.1 di maksud dan tujuan). (D,W,S)

Penyampaian hasil pemeriksaaan diagnostik secara verbal ditulis lengkap, dibaca ulang, dan dikonfirmasi oleh pemberi pesan  secara lengkap. (D,W,S)

 

Elemen Penilaian SKP.2.1

  1. Rumah sakit menetapkan besaran nilai kritis hasil pemeriksaan diagnostik dan hasil diagnostik kritis. (lihat juga AP 5.3.2). (R)
  2. Rumah sakit menetapkan siapa yang harus melaporkan dan siapa yang harus menerima nilai kritis hasil pemeriksaan diagnostik dan dicatat di rekam medis (lihat juga AP 5.3.2 EP 2). (W,S)

 

Elemen Penilaian SKP.2.2

  1. Ada bukti catatan tentang hal-hal kritikal dikomunikasikan di antara profesional pemberi asuhan pada waktu dilakukan serah terima pasien (hand over). (lihat juga MKE 5). (D,W)

 

  1. Formulir, alat, dan metode ditetapkan untuk mendukung proses serah terima pasien (hand over) bila mungkin melibatkan pasien. (D,W)
  2. Ada bukti dilakukan evaluasi tentang catatan komunikasi yang terjadi waktu serah terima pasien (hand over) untuk memperbaiki proses. (D,W)

 

 

SASARAN 3 : MENINGKATKAN KEAMANAN OBAT-OBAT YANG HARUS DIWASPADAI (HIGH ALERT MEDICATIONS)

 

Standar SKP.3

Rumah sakit menetapkan regulasi untuk melaksanakan proses meningkatkan keamanan terhadap obat-obat yang perlu diwaspadai.

 

Standar SKP.3.1

Rumah sakit menetapkan regulasi untuk melaksanakan proses mengelola penggunaan elektrolit konsentrat.

 

Maksud dan Tujuan SKP.3 dan SKP.3.1

Setiap obat jika salah penggunaannya dapat membahayakan pasien, bahkan bahayanya dapat menyebabkan kematian atau kecacatan pasien, terutama obat- obat yang perlu diwaspadai. Obat yang perlu diwaspadai adalah obat yang mengandung risiko yang meningkat bila kita salah menggunakan dan dapat menimbulkan kerugian besar pada pasien.

 

Obat yang perlu diwaspadai terdiri atas

  • obat risiko tinggi, yaitu obat yang bila terjadi kesalahan (error) dapat menimbulkan kematian atau kecacatan seperti, insulin, heparin, atau kemoterapeutik;
  • obat yang nama, kemasan, label, penggunaan klinik tampak/kelihatan sama (look alike), bunyi ucapan sama (sound alike), seperti Xanax dan Zantac atau hydralazine dan hydroxyzine atau disebut juga nama obat rupa ucapan mirip (NORUM);
  • elektrolit konsentrat seperti potasium klorida dengan konsentrasi sama atau lebih dari 2 mEq/ml, potasium fosfat dengan konsentrasi sama atau lebih besar dari 3 mmol/ml, natrium klorida dengan konsentrasi lebih dari 0,9% dan magnesium sulfat dengan konsentrasi 20%, 40%, atau

 

Ada banyak obat yang termasuk dalam kelompok NORUM. Nama-nama yang membingungkan ini umumnya menjadi sebab terjadi medication error di seluruh dunia. Penyebab hal ini adalah

  • pengetahuan tentang nama obat yang tidak memadai;
  • ada produk baru;
  • kemasan dan label sama;

 

  • indikasi klinik sama;
  • bentuk, dosis, dan aturan pakai sama;
  • terjadi salah pengertian waktu memberikan

 

Daftar obat yang perlu diwaspadai (high alert medication) tersedia di berbagai organisasi kesehatan seperti the World Health Organization (WHO) dan Institute for Safe Heatlh Medication Practices (ISMP), di berbagai kepustakaan, serta pengalaman rumah sakit dalam hal KTD atau kejadian sentinel.

 

Isu tentang penggunaan obat adalah pemberian yang salah atau ketidaksengajaan menggunakan elektrolit konsentrat. Contohnya, potasium klorida dengan konsentrasi sama atau lebih dari 2 mEq/ml, potasium fosfat dengan konsentrasi sama atau lebih besar dari 3 mmol/ml, natrium klorida dengan konsentrasi lebih dari 0,9%, dan magnesium sulfat dengan konsentrasi 20%, 40%, atau lebih.

 

Kesalahan dapat terjadi jika petugas tidak memperoleh orientasi cukup baik di unit perawatan pasien dan apabila perawat tidak memperoleh orientasi cukup atau saat keadaan darurat. Cara paling efektif untuk mengurangi atau menghilangkan kejadian ini adalah dengan menetapkan proses untuk mengelola obat yang perlu diwaspadai (high alert medication) dan memindahkan elektrolit konsentrat dari area layanan perawatan pasien ke unit farmasi. (lihat juga PKPO 3 EP 4).

 

Rumah sakit membuat daftar semua obat high alert dengan menggunakan informasi atau data yang terkait penggunaan obat di dalam rumah sakit, data tentang “kejadian yang tidak diharapkan” (adverse event) atau “kejadian nyaris cedera” (near miss) termasuk risiko terjadi salah pengertian tentang NORUM. Informasi dari kepustakaan seperti dari Institute for Safe Health Medication Practices (ISMP), Kementerian Kesehatan, dan lainnya. Obat-obat ini dikelola sedemikian rupa untuk menghindari kekuranghati-hatian dalam menyimpan, menata, dan menggunakannya termasuk administrasinya, contoh dengan memberi label atau petunjuk tentang cara menggunakan obat dengan benar pada obat-obat high alert.

 

Untuk meningkatkan keamanan obat yang perlu diwaspadai, rumah sakit perlu menetapkan risiko spesifik dari setiap obat dengan tetap memperhatikan aspek peresepan, menyimpan, menyiapkan, mencatat, menggunakan, serta monitoringnya. Obat high alert harus disimpan di instalasi farmasi/unit/depo. Bila rumah sakit ingin menyimpan di luar lokasi tersebut, disarankan disimpan di depo farmasi yang berada di bawah tanggung jawab apoteker.

 

 

 

Elemen Penilaian SKP 3.

  1. Ada regulasi tentang penyediaan, penyimpanan, penataan, penyiapan, dan penggunaan obat yang perlu diwaspadai. (R)
  2. Rumah sakit mengimplementasikan regulasi yang telah dibuat. (D,W).
  3. Di rumah sakit tersedia daftar semua obat yang perlu diwaspadai yang disusun berdasar atas data spesifik sesuai dengan regulasi. (D,O,W).
  4. Tempat penyimpanan, pelabelan, dan penyimpanan obat yang perlu diwaspadai termasuk obat NORUM diatur di tempat aman. (D,O,W).

 

Elemen Penilaian SKP 3-1.

  1. Rumah sakit menetapkan regulasi untuk melaksanakan proses mencegah kekurang hati-hatian dalam mengelola elektrolit konsentrat. (R)
  2. Elektrolit konsentrat hanya tersedia di unit kerja/instalasi farmasi atau depo farmasi. (D,O,W)

 

 

SASARAN 4 : MEMASTIKAN LOKASI PEMBEDAHAN YANG BENAR, PROSEDUR YANG BENAR, PEMBEDAHAN PADA PASIEN YANG BENAR.

 

Standar SKP 4.

Rumah sakit memastikan Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, dan Tepat-Pasien sebelum menjalani tindakan dan atau prosedur.

 

Standar SKP 4-1.

Rumah sakit memastikan dilaksanakannya proses Time-out di kamar operasi atau ruang tindakan sebelum operasi dimulai.

 

Maksud dan Tujuan SKP 4 dan SKP 4-1.

Salah-Lokasi, Salah-Prosedur, dan Salah-Pasien yang menjalani tindakan serta prosedur merupakan kejadian sangat mengkhawatirkan dan dapat terjadi. Kesalahan ini terjadi antara lain akibat

  • komunikasi yang tidak efektif dan tidak adekuat antaranggota tim;
  • tidak ada keterlibatan pasien untuk memastikan ketepatan lokasi operasi dan tidak ada prosedur untuk verifikasi;
  • asesmen pasien tidak lengkap;
  • catatan rekam medik tidak lengkap;
  • budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antaranggota tim;
  • masalah yang terkait dengan tulisan yang tidak terbaca, tidak jelas, dan tidak lengkap;
  • penggunaan singkatan yang tidak terstandardisasi dan

 

Tindakan bedah dan prosedur invasif memuat semua prosedur investigasi dan atau memeriksa penyakit serta kelainan dari tubuh manusia melalui mengiris, mengangkat, memindahkan, mengubah atau memasukkan alat laparaskopi/ endoskopi ke dalam tubuh untuk keperluan diagnostik dan terapeutik.

 

Rumah sakit harus menentukan area-area di dalam rumah sakit yang melakukan tindakan bedah dan prosedur invasif. Sebagai contoh, kateterisasi jantung, radiologi intervensi, laparaskopi, endoskopi, pemeriksaan laboratorium, dan lainnya. Ketentuan rumah sakit tentang Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, dan Tepat-Pasien berlaku di semua area rumah sakit di lokasi tindakan bedah dan invasif dilakukan.

 

Rumah sakit diminta untuk menetapkan prosedur yang seragam sebagai berikut:

  1. beri tanda di tempat operasi;
  2. dilakukan verifikasi praoperasi;
  3. melakukan Time Out sebelum insisi kulit

 

Pemberian tanda di empat dilakukan operasi atau prosedur invasif melibatkan pasien dan dilakukan dengan tanda yang tepat serta dapat dikenali. Tanda yang dipakai harus konsisten digunakan di semua tempat di rumah sakit, harus dilakukan oleh individu yang melakukan prosedur operasi, saat melakukan pasien sadar dan terjaga jika mungkin, serta harus masih terlihat jelas setelah pasien sadar. Pada semua kasus, lokasi tempat operasi harus diberi tanda, termasuk pada sisi lateral (laterality), daerah struktur multipel (multiple structure), jari tangan, jari kaki, lesi, atau tulang belakang.

 

Tujuan  proses verifikasi praoperasi adalah

  • memastikan ketepatan tempat, prosedur, dan pasien;
  • memastikan bahwa semua dokumen yang terkait, foto (imajing), dan hasil pemeriksaan yang relevan diberi label dengan benar dan tersaji;
  • memastikan tersedia   peralatan   medik    khusus   dan   atau   implan   yang dibutuhkan.

 

Beberapa elemen proses verifikasi praoperasi dapat dilakukan sebelum pasien tiba di tempat praoperasi, seperti memastikan dokumen, imajing, hasil pemeriksaaan, dokumen lain diberi label yang benar, dan memberi tanda di tempat (lokasi) operasi.

 

Time-Out yang dilakukan sebelum dimulainya insisi kulit dengan semua anggota tim hadir dan memberi kesempatan untuk menyelesaikan pertanyaan yang belum terjawab atau ada hal yang meragukan yang perlu diselesaikan. Time-Out dilakukan di lokasi tempat dilakukan operasi sesaat sebelum prosedur dimulai dan melibatkan semua anggota tim bedah. Rumah sakit harus menetapkan prosedur bagaimana proses Time-Out berlangsung.

 

Salah-lokasi, salah-prosedur, dan salah-pasien operasi adalah kejadian yang mengkhawatirkan dan dapat terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/ tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk memverifikasi lokasi operasi. Di samping itu, juga asesmen pasien

 

yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antaranggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan resep yang tidak terbaca (illegible handwriting), dan pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi.

 

Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam meminimalkan risiko ini. Kebijakan termasuk definisi operasi yang memasukkan sekurang-kurangnya prosedur yang menginvestigasi dan atau mengobati penyakit serta kelainan/disorder pada tubuh manusia. Kebijakan berlaku atas setiap lokasi di rumah sakit bila prosedur ini dijalankan.

 

Praktik berbasis bukti ini diuraikan dalam Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety terkini.

 

Elemen Penilaian SKP 4.

  1. Ada regulasi untuk melaksanakan penandaan lokasi operasi atau tindakan invasif (site marking). (R)
  2. Ada bukti rumah sakit menggunakan satu tanda di empat sayatan operasi pertama atau tindakan invasif yang segera dapat dikenali dengan cepat sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan rumah sakit. (D,O)
  3. Ada bukti bahwa penandaan lokasi operasi atau tindakan invasif (site marking) dilakukan oleh staf medis yang melakukan operasi atau tindakan invasif dengan melibatkan pasien. (D,O,W)

 

Elemen Penilaian SKP 4-1.

  1. Ada regulasi untuk prosedur bedah aman dengan menggunakan “surgical check list ” (Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety 2009). (R)
  2. Sebelum operasi atau tindakan invasif dilakukan, rumah sakit menyediakan “check list” atau proses lain untuk mencatat, apakah informed consent sudah benar dan lengkap, apakah Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, dan Tepat-Pasien sudah teridentifikasi, apakah semua dokumen dan peralatan yang dibutuhkan sudah siap tersedia dengan lengkap dan berfungsi dengan baik. (D,O)
  3. Rumah sakit menggunakan Komponen Time-Out terdiri atas identifikasi Tepat- Pasien, Tepat-Prosedur, dan Tepat-Lokasi, persetujuan atas operasi dan konfirmasi bahwa proses verifikasi sudah lengkap dilakukan sebelum melakukan irisan. (D,O,W,S).
  4. Rumah sakit menggunakan ketentuan yang sama tentang Tepat-Lokasi, Tepat- Prosedur, dan Tepat-Pasien jika operasi dilakukan di luar kamar operasi termasuk prosedur tindakan medis dan gigi. (D,O,W)

 

SASARAN 5 : MENGURANGI RISIKO INFEKSI TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN.

 

Standar SKP 5.

Rumah sakit menetapkan regulasi untuk menggunakan dan melaksanakan evidence- based hand hygiene guidelines untuk menurunkan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan.

 

Maksud dan Tujuan SKP 5.

Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan sebuah tantangan di lingkungan fasilitas kesehatan. Kenaikan angka infeksi terkait pelayanan kesehatan menjadi keprihatinan bagi pasien dan petugas kesehatan. Secara umum, infeksi terkait pelayanan kesehatan terjadi di semua unit layanan kesehatan, termasuk infeksi saluran kencing disebabkan oleh kateter, infeksi pembuluh/aliran darah terkait pemasangan infus baik perifer maupun sentral, dan infeksi paru-paru terkait penggunaan ventilator.

 

Upaya terpenting menghilangkan masalah infeksi ini dan infeksi lainnya adalah dengan menjaga kebersihan tangan melalui cuci tangan. Pedoman kebersihan tangan (hand hygiene) tersedia dari World Health Organization (WHO). Rumah sakit mengadopsi pedoman kebersihan tangan (hand hygiene) dari WHO ini untuk dipublikasikan di seluruh rumah sakit. Staf diberi pelatihan bagaimana melakukan cuci tangan dengan benar dan prosedur menggunakan sabun, disinfektan, serta handuk sekali pakai (towel), tersedia di lokasi sesuai dengan pedoman. (lihat juga PPI 9)

 

Elemen Penilaian SKP 5.

  1. Ada regulasi tentang pedoman kebersihan tangan (hand hygiene) yang mengacu pada standar WHO terkini. (lihat juga PPI 9. EP 2, EP 6). (R)
  2. Rumah sakit melaksanakan program kebersihan tangan (hand hygiene) di seluruh rumah sakit sesuai dengan regulasi. (D,W)
  3. Staf rumah sakit dapat melakukan cuci tangan sesuai dengan (lihat juga PPI 9 EP 6). (W,O,S)
  4. Ada bukti staf melaksanakan lima saat cuci tangan. (W,O,S) ??? lima apa ??
  5. Prosedur disinfeksi di rumah sakit dilakukan sesuai dengan regulasi. (lihat juga PPI 9 EP 2, EP 5, dan EP 6) (W,O,S)
  6. Ada bukti rumah sakit melaksanakan evaluasi terhadap upaya menurunkan angka infeksi terkait pelayanan kesehatan. (D,W) (lihat juga PPI 9 EP 6)

 

SASARAN 6 : MENGURANGI RISIKO CEDERA PASIEN AKIBAT TERJATUH

 

Standar SKP 6.

Rumah sakit melaksanakan upaya mengurangi risiko cedera akibat pasien jatuh.

 

Maksud dan Tujuan SKP 6.

 

Banyak cedera yang terjadi di unit rawat inap dan rawat jalan akibat pasien jatuh. Berbagai faktor yang meningkatkan riisiko pasien jatuh antara lain:

  1. kondisi pasien;
  2. gangguan fungsional pasien (contoh gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, atau perubahan status kognitif);
  3. lokasi atau situasi lingkungan rumah sakit;
  4. riwayat jatuh pasien;
  5. konsumsi obat tertentu;
  6. konsumsi

 

Pasien yang pada asesmen awal dinyatakan berisiko rendah untuk jatuh dapat mendadak berubah menjadi berisiko tinggi. Hal iIni disebabkan oleh operasi dan/atau anestesi, perubahan mendadak kondisi pasien, serta penyesuaian pengobatan. Banyak pasien memerlukan asesmen selama dirawat inap di rumah sakit. Rumah sakit harus menetapkan kriteria untuk identifikasi pasien yang dianggap berisiko tinggi jatuh.

 

Contoh situasional risiko adalah jika pasien yang datang ke unit rawat jalan dengan ambulans dari fasilitas rawat inap lainnya untuk pemeriksaan radiologi. Pasien ini berisiko jatuh waktu dipindah dari brankar ke meja periksa radiologi, atau waktu berubah posisi sewaktu berada di meja sempit tempat periksa radiologi.

 

Lokasi spesifik dapat menyebabkan risiko jatuh bertambah karena layanan yang diberikan. Misalnya, terapi fisik (rawat jalan dan rawat inap) memiliki banyak peralatan spesifik digunakan pasien yang dapat menambah risiko pasien jatuh seperti parallel bars, freestanding staircases, dan peralatan lain untuk latihan.

 

Rumah sakit melakukan evaluasi tentang pasien jatuh dan melakukan upaya mengurangi risiko pasien jatuh. Rumah sakit membuat program untuk mengurangi pasien jatuh yang meliputi manajemen risiko dan asesmen ulang secara berkala di populasi pasien dan atau lingkungan  tempat pelayanan dan asuhan itu diberikan.

 

Rumah sakit harus bertanggung jawab untuk identifikasi lokasi (seperti unit terapi fisik), situasi (pasien datang dengan ambulans, transfer pasien dari kursi roda atau cart), tipe pasien, serta gangguan fungsional pasien yang mungkin berisiko tinggi untuk jatuh.

 

Rumah sakit menjalankan program pengurangan risiko jatuh dengan menetapkan kebijakan dan prosedur yang sesuai dengan lingkungan dan fasilitas rumah sakit. Program ini mencakup monitoring terhadap kesengajaan dan atau ketidak- kesengajaan dari kejadian jatuh. Misalnya, pembatasan gerak (restrain) atau pembatasan intake cairan.

 

Elemen Penilaian SKP 6.

  1. Ada regulasi yang mengatur tentang mencegah pasien cedera karena jatuh. (lihat juga AP 1.2.1 EP 2). (R)
  2. Rumah sakit melaksanakan suatu proses asesmen terhadap semua pasien rawat inap dan rawat jalan dengan kondisi, diagnosis, dan lokasi terindikasi berisiko tinggi jatuh sesuai dengan regulasi. (D,O,W)
  3. Rumah sakit melaksanakan proses asesmen awal, asesmen lanjutan, asesmen ulang dari pasien pasien rawat inap yang berdasar atas catatan teridentifikasi risiko jatuh. (lihat juga AP 2 EP 1). (D,O,W)
  4. Langkah-langkah diadakan untuk mengurangi risiko jatuh bagi pasien dari situasi dan lokasi yang menyebabkan pasien jatuh. (lihat juga AP 1.2.1 EP 3). (D,O,W)

 4,026 total views,  14 views today